“Siapa yang sujud kepada-Ku dengan persembahan setangkai daun, sekuntum bunga, sebiji buah-buahan, atau seteguk air, Aku terima sebagai bakti persembahan dari orang yang berhati suci.”
Membaca Bhagawadgita, yaitu rangkuman percakapan antara Sri Krisna sebagai awatara Wisnu dengan Arjuna di medan perang Kuruksetra, tidak bisa sepotong-sepotong.
Seluruhnya ada delapan belas Bab dan 700 sloka. Bab ke-17 adalah percakapan mengenai “Sraddhatraya Vibhaga Yoga”, di mana Arjuna mengajukan pertanyaan kepada Sri Krisna: Bagaimana kalau seseorang mengadakan upacara dengan penuh khidmat dan kepercayaan tetapi melalaikan petunjuk-petunjuk kitab suci?
Sri Krisnya menjawab bahwa ada tiga macam kepercayaan yang masing-masing tergantung kepada tiap-tiap individu dengan sifat-sifatnya, yaitu baik-mulia (sattwa), aktif bernafsu (rajas), dan gelap-bodoh (tamas).
Yang bersifat sattwa pergi memuja Dewata, makan makanan yang berguna bagi pertumbuhan badan dan kesehatan, mengadakan upacara menurut petunjuk kitab suci, bermeditasi dengan keyakinan mendalam, bersedekah tanpa mengharapkan kembali.
Yang bersifat rajas pergi memuja yaksha dan raksasa makan makanan yang serba banyak rempah, mengadakan upacara dengan harapan akan pahala, bersamadi dengan maksud supaya dipuji dan disegani, bersedekah dengan harapan mendapat kembali.
Yang bersifat tamas pergi memuja roh orang mati dan setan, makan makanan yang tidak sehat, mengadakan upacara tidak menurut peraturan, bertapa beratha dengan pengertian kurang, bersedekah pada waktu dan kesempatan yang salah.
Upacara, sedekah dan tapa beratha yang tidak disertai dengan kepercayaan tidak ada artinya. Segala sesuatu di dunia ini berasal dari Ida Sanghyang Widhi Wasa, apakah yang mungkin kita persembahkan kepada-Nya?
Banten beserta segala perlengkapannya semuanya milik-Nya; tanpa dipersembahkan pun sudah milik-Nya. Jadi yang kita persembahkan hanyalah cinta kasih kita kepada Ida Sanghyang Widhi Wasa.
Masalahnya, bagaimana kita mewujudkan cinta kasih kita kepada-Nya, karena manusia yang mempunyai keterbatasan pengetahuan ingin semuanya dalam wujud yang nyata.
Manusia mewujudkan perasaan hatinya dengan perilaku yang dimengerti secara nalar. Demikianlah para Maha Rsi atas wahyu-wahyu yang diterima menciptakan banten sebagai “niyasa” atau simbol perwujudan cinta kasih kepada-Nya.
Bhagawadgita-pun memberi peluang ke arah ini: “Demi kepuasanmu engkau memberi nama dan wujud kepada-Ku, tetapi sesungguhnya Aku sama sekali tidak bernama dan tidak berwujud.”
Kita membuat banten untuk membawa perasaan kita setahap demi setahap sujud bhakti kepada-Nya.
Mulai sejak mengumpulkan bahan-bahan, mejejahitan, metanding, menjunjung ke Pura, lalu menaruh banten di palinggih, semua dilakukan dengan hidmat, hati-hati, dan dengan perasaan kasih yang melimpah kehadapan-Nya. Setelah itu banten disucikan dan diantarkan puja-nya oleh Sang Wiku untuk dihaturkan kepada-Nya.
Semua prosesi itu membawa kepuasan bathin yang tiada tara kepada kita, sehingga setelah upacara selesai, perasaan kita lega karena sudah memuja-Nya.
Apakah maknanya? Apakah Ida Sanghyang Widhi Wasa mengharapkan semua persembahan material itu?
Tidak; karena Beliau sudah memiliki semuanya. Beliau hanya memperhatikan cinta kasih yang tulus dan suci yang keluar dari lubuk hati kita dalam menghadap Beliau.
Untuk siapakah cinta kasih yang kita wujudkan itu?
Hanya untuk kita sendiri! Tiada seorang pun yang tahu rahasia hati kita kepada-Nya. Jika kita dekat dengan-Nya maka Beliau pun akan dekat kepada kita; sebaliknya jika kita jauh dari-Nya maka Beliau pun akan jauh dari kita, walaupun Ida Sanghyang Widhi Wasa selalu kasih kepada ciptaan-ciptaan-Nya.