Sunday 18 October 2009

Kama Sutra ala Cina

 
Artikel yg menarik tentang “Kamasutra”, dimana kita memperoleh cara untuk meniti jalan ke dalam diri, untuk menemukan jati diri (Samadhi).
Orang Jawa zaman dahulu menyebutnya sembah rasa. Para Sufi menyebutnya muraqibah yang diperoleh dengan ber-tafakkur. Dalam bahasa modern, meditasi.
Meditasi bukan dalam pengertian “duduk diam” atau “mendiam-diamkan diri selama beberapa lama”, “menyepi”, dan sebagainya. Namun, “menjadi diam” - setelah hewan di dalam diri kita berhasil dijinakkan. Meditasi juga bukan doa. Ketika kita bendoa, kita berbicara dengan Tuhan. Dalam meditasi, kita berhenti berbicara. Kita mendengarkan suara-Nya.
Untuk menuju ke sana , urusi dulu sesuatu yang paling dasar di dalam diri kita, yaitu seks. Pengolahan enengi seks untuk menggapai ketinggian spiritual, itulah intisari Kamasutra. ***
=================================================
Neo Kamasutra, Kebajikan Kuno Bagi Manusia Modern

Oleh: Anand Krishna, Humanis, di Jakarta
“Urusi dulu sesuatu yang paling dasar di dalam dirimu, yaitu seks,” pesan Vatsyayana, penyusun buku Kamasutra. Pengolahan energi seks untuk menggapai ketinggian spriritual, itulah intisari Kamasutra.

Mulla Nasruddin, berkelakar, “Sadarkah kita akan pentingnya peran ranjang dalam hidup manusia? Kita lahir di atas ranjang, dan mati pun di atasnya. Jika mati karena kecelakaan di tengah jalan raya, jasad kita pun di-”ranjang”-kan. Antara titik kelahiran dan kematian, masa yang disebut hidup atau kehidupan pun lebih dari sepertiganya, kita lewati di atas ranjang.”
Saya baru sadar. Betul juga, ranjang sungguh sangat penting.
Perhatian yang kita berikan selama ini sungguh tidak proporsional. Kitab-kitab dan karya sastra pun banyak membicarakan kehidupan di luar ranjang. Jarang yang membicarakan kehidupan  di atas ranjang.
Kamasutra bukan hanya bicara tentang kehidupan di atas ranjang. Namun, juga bicara tentang persiapan menuju ranjang  dan kehidupan setelah turun dari ranjang. Kamasutra, oleh sebab itu, menyentuh keseluruhan hidup manusia.
Tak heran bila leluhur kita yang hidup dalam wilayah peradaban Sindhu, Hindu, Indies, Indo, Hindia, India, atau apa pun sebutannya, menerima kama (nafsu) sebagai an integral part of life, bagian tak terpisahkan dan hidup manusia. Lalu, disusunlah sutra (pedoman) yang berkaitan dengannya sebagai sesuatu yang suci. Bagi kita yang tinggal dalam wilayah peradaban itu, Kamasutra adalah “kitab suci”.
Dalam pengertiannya secara generik, Kamasutra bukanlah milik sebuah negara yang kita sebut India. Namun, milik keseluruhan wilayah peradaban, yang oleh para pedagang dari Timur Tengah zaman dahulu disebut Hindustan. Wilayah luas yang mencakup Gandhaar (sekarang Qandahar dan merupakan bagian dari Afghanistan) hingga perbatasan Astraalaya (sekarang Australia) betul-betul merupakan wilayah peradaban, dan bukan sebuah negara atau imperium. Negara-negara yang ada di wilayah peradaban ini bebas, merdeka, termasuk Kepulauan Nusantara.
Maka, tidak heran pula bila di Jawa dan Bali masih bisa ditemukan lontar-lontar kuno yang bicara tentang kama. Secara kolektif lontar-lontar itu pun dapat disebut kamasutra. Sayangnya, tidak komplet. Banyak bagian yang sudah hilang. Sementara itu, karya dunia yang kita sebut Kamasutra masih relatif lengkap dan ditemukan lontarnya di Bhaarat (kini India).
Vatsyayana, yang sering kita temukan namanya tertera di atas kulit buku Kamasutra dan memberi kesan seolah ia penulisnya, sesungguhnya tidak pernah mengklaim sebagai penulis. Ia hanya mengaku dirinya sebagai editor, penyusun.
Kita tidak banyak tahu tentang Vatsyayana, siapa dia, tinggal di mana. Secara samar-samar kita hanya tahu, barangkali dia hidup pada 1.700 - 1.800 tahun lalu.
Secara implisit, sang penyusun pun mengaku bahwa karyanya lahir dari kegelisahan diri. Kegelisahan melihat keadaan muda-mudi Bhaarat zaman itu. Dengan jumlah penduduknya sekitar 10 - 15 juta dan tanah yang lumayan subur, keadaan Bhaarat waktu itu mirip dengan Swiss atau negeri-negeri Skandinavia masa kini.
Untuk memahami latar belakang penyusunan Kamasutra oleh Vatsyayana, kita boleh menoleh sebentar ke Swiss atau salah satu negara di Skandinavia. Inilah negara paling makmur di dunia, jauh lebih sejahtera dari Amerika Serikat. Namun, tingkat kematiannya akibat bunuh diri pun jauh berada di atas Amerika Serikat, dan tertinggi di Eropa. Kenapa? Ketika seorang gadis asal Swiss diwawancarai oleh CNN, ia mengaku, “Kehidupan sebagaimana kita jalani saat ini sudah kehilangan makna.
Untuk apa hidup?” Tidak ada tantangan. Segalanya sudah tersedia, baik oleh orangtua maupun negara. Mau apa lagi?
Saat itu, di zaman Vatsyayana, muda-mudi Bhaarat pun menghadapi dilema serupa. Maka mereka melarikan diri dari masyarakat. Mereka menjadi petapa, menjadi biku.
Keseimbangan sosial pun kacau. Jumlah penduduk yang berusia lanjut dan sudah tidak produktif melebihi jumlah mereka yang masih muda dan produktif. Keadaan serupa saat ini dihadapi oleh tetangga kita, Singapura.
Di tengah keadaan seperti itu, Vatsyayana mengingatkan zamannya bahwa “Manusia Dapat Memberi Makna pada Hidupnya”. Tidak perlu mencari makna kemana-mana, karena makna ada di mana-mana. Maka lahirlah sebuah falsafah, bukan filsafat yang kering, cara hidup yang penuh lembap. Falsafah kamasutra!
HIDUP PENUH MAKNA

Namun, kita harus menemukannya! Persis seperti mentega atau krim di dalam susu - sudah ada namun tidak terlihat. Susu harus diproses untuk mendapatkan krim atau mentega di dalamnya, dan proses inilah kehidupan.
Susu di dalam cawan Anda berasal dari seekor sapi. Susu di dalam cawan saya pun berasal dari seekor sapi. Lain sumber Anda (sapi Anda), lain pula sumber saya (sapi saya). Namun, susu yang kita miliki sama, sama-sama bergizi dan memiliki khasiat yang sama pula. Untuk memperoleh mentega, kita pun harus sama-sama mengolahnya. Walau cara kita bisa beda, hasilnya akan sama lagi.
Berdasarkan perumpamaan itu, Vatsyayana mengajak kita untuk mengenali diri, untuk menemukan jati diri atau pusat di dalam diri - the centerpoint. Banyak cara untuk menemukan jati diri. Namun, ada empat upaya utama. Setiap upaya mewakili satu sudut, satu sisi kehidupan, yang barangkali berseberangan tetapi dapat dipertemukan.
Pertama adalah kama (keinginan) - keinginan kuat, tunggal, untuk menemukan jati diri. Sementara ini keinginan kita masih bercabang. Terdorong oleh hawa nafsu, kita dapat menginginkan apa saja. Perlahan, tanpa memaksa, kita harus mengarahkan keinginan itu kepada diri sendiri. Dari sekian banyak keinginan, kita menjadikannya satu keinginan; keinginan untuk menemukan jati diri.
Kedua adalah artha, biasa diterjemahkan sebagai harta. Sesungguhnya, artha juga berarti “makna” atau “arti”. Temukan makna hidup! Adakah uang atau harta itu yang memberi makna pada hidup kita? Bila ya, berhati-hatilah. Sebab, apa yang kita miliki saat ini tak mungkin kita miliki selamanya. Jangankan uang, anggota keluarga pun pada suatu ketika akan meninggalkan kita, atau sebaliknya. Bila terlalu percaya pada “kepemilikan” kita, maka hidup bisa menjadi sangat tidak berarti ketika apa yang saat ini masih kita miliki, tidak lagi menjadi milik kita.
Berusahalah untuk menemukan makna lain bagi hidup kita. Barangkali itu “kebahagiaan” yang kita peroleh saat kita berbagi kebahagiaan. Tidak berarti kita tidak boleh mencari uang. Silakan mencari uang, menabung, menjadi kaya-raya, tetapi janganlah mempercayai harta kekayaan kita. Kita pasti kecewa karena apa yang kita miliki hari ini, belum tentu masih kita miliki esok pagi.
Ketiga adalah dharma, kebajikan. Dalam bahasa sufi disebut syariat - pedoman perilaku. Pedoman perilaku berdasarkan kesadaran, itulah dharma. Jangan berbuat baik hanya karena kita dijanjikan sebuah kapling di surga. Itu bukan kebajikan, tapi perdagangan belaka - jual-beli. Berbuatlah baik karena kebaikan itu baik. Berbuatlah baik karena diri kita baik. Berbuatlah baik karena kita sadar. Orang yang berada pada jalur dharma tidak perlu dipaksa, diiming-imingi, juga tidak perlu diintimidasi, diteror, atau dipaksa untuk berbuat baik. Ia akan selalu berusaha untuk berbuat baik karena sadar!
Keempat adalah moksha, kebebasan mutlak. Kebebasan mutlak berarti “kebebasan dari” sekaligus “kebebasan untuk”. Kita bebas dari penjajahan, dan mestinya kita juga bebas untuk berpendapat. Namun, ada rambu-rambu yang perlu ditaati, diperhatikan, dan tidak dilanggar. Kenapa ada rambu-rambu? Sebab, kita belum cukup sadar menggunakan “kebebasan untuk” dengan penuh tanggung jawab. Barangkali memang karena itu, atau barangkali ada pihak-pihak yang merasa akan dirugikan, bila kita meraih “kebebasan untuk”.

Lewat Kamasutra, Vatsyayana, sang Begawan, hendak membebaskan kita dari perbudakan, dan belenggu yang menjerat. Tuhan bukanlah yang menciptakan belenggu-belenggu itu, tapi masyarakatlah penciptanya. Nilai-nilai yang mendasari suatu masyarakat semuanya dapat berubah. Tidak ada yang baku.
Vatsyayana mengajak kita untuk sepenuhnya menerima perubahan dan ikut berubah. Dalam bahasa modern, inilah yang disebut Adequency Quotient - kemampuan untuk bertindak sesuai dengan tuntutan zaman, waktu, keadaan, budaya lokal, dan sebagainya. Vatsyayana tidak percaya pada Intellectual Quotient, Emotional Quotient, Spiritual Quotient atau gabungan kedua atau ketiganya. Ia menerima semuanya dan tidak berhenti pada ketiganya itu saja. Ia pun menerima segala aspek kehidupan manusia, termasuk seks - dan lahirlah Kamasutra sebagaimana dipahami oleh Vatsyayana.
Kama, artha, dharma; dan moksha harus bertemu, dan titik temu keempat upaya itulah tujuan hidup, itulah jati diri kita! Titik temu itu adalah antara pasangan yang berseberangan. Janganlah mempertemukan kama dengan artha, karena kedua titik itu masih segaris. Pertemuan antara kama dan artha itulah yang selama ini terjadi - kita hanya berkeinginan untuk mengumpulkan uang, mencari keuntungan, dan menambah kepemilikan, entah itu berupa benda-benda yang bergerak atau tak bergerak.
Kama harus bertemu dengan moksha, itulah titik di seberangnya. Berkeinginanlah untuk meraih kebebasan mutlak.
Kemudian artha harus bertemu dengan dharma - carilah harta sehingga Anda dapat berbuat baik, dapat berbagi dengan mereka yang berkurangan. Berikan makna kepada hidup Anda dengan berbagi kebahagiaan, keceriaan, kedamaian, dan kasih.
Namun, selama ini kita menggabungkan dharma dengan moksha. Berbuat baik, beramal saleh, untuk meraih kebebasan. Kemudian kebebasan pun kita terjemahkan sebagal keselamatan bagi diri, jiwa, atau sebuah kapling di surga. Bebas dari api neraka, itulah definisi kita tentang kebebasan. Bebas dari penderitaan, entah fisik, mental, emosional atau apa yang kita anggap rohani. Itu saja.
Padahal, roh atau batin melampaui suka dan duka. Roh atau batin adalah napas-Nya yang ditiupkan-Nya ke dalam “apa yang kita sebut diri kita”. Penderitaan fisik, mental, maupun emosional semata-mata karena kita tidak mau menerima perubahan. Setelah digunakan selama puluhan tahun, kendaraan bernama badan sudah pasti mengalami kerusakan. ltu wajar dan normal. Terimalah kewajaran itu.
NAFSU HANYA MENUNTUT

Setelah menemukan jati diri, kita baru bisa menyelaraskan diri dengan lingkungan sekitar kita, dengan masyarakat, dengan dunia. Bila belum menemukan “diri”, apa pula yang hendak kita selaraskan dengan pihak-pihak di luar diri?
Kamasutra menerima seks sebagai anak tangga pentama untuk menemukan jati diri. Seks sebagai bagian dari kama, hasrat, nafsu, keinginan, bukanlah urusan di atas ranjang belaka. Energi seks pula yang kita gunakan dalam keseharian untuk keperluan apa saja. Sebab itu, energi ini perlu diolah, diperlembut, disesuaikan dengan profesi, tugas serta kewajiban kita dalam hidup sehari-hari.
Bila tidak, kita akan bernafsu untuk memperoleh jabatan dan menghalalkan segala cara untuk memperolehnya. Kita akan bernafsu untuk menjadi nomor satu dengan cara apapun, termasuk mencelakakan pesaing kita. Ini yang terjadi selama ini, sebab kita lupa mengolah energi yang ada di dalam diri. Kita lupa memperlembut energi itu.
Urusan senggama yang dibahas panjang lebar oleh Vatsyayana semata-mata untuk memperhalus energi kita. Ia tidak memberi pedoman, “Janganlah kau melakukan hal ini, janganlah kau bertindak seperti itu.” Ia memberi teknik-teknik, di antaranya yang dapat kita lakukan bersama pasangan kita di atas ranjang, supaya kehewanian di dalam diri kita mendapatkan penyaluran. Sehingga energi di dalam diri dapat ditingkatkan. Nafsu dapat diolah menjadi cinta, dan cinta menjadi kasih.
Nafsu hanya menuntut. Cinta tidak sekadar menuntut, ia juga memberi. Tetapi yang diberikannya setimpal dengan apa yang diterimanya. Kasih itu memberi, memberi, dan memberi. Ia tidak menuntut, tidak peduli dibalas atau tidak.
Itulah falsafah hidup di balik Kamasutra.
Itulah tujuan Vatsyayana ketika menyusun kembali teks teks kuno dan memilih apa saja yang masih relevan di zamannya, kemudian disebutnya Kamasutra. Sebab itu, Vatsyayana juga tidak berpretensi bahwa apa yang ditulisnya itu berlaku sepanjang masa. Bahkan untuk masanya sendiri.
Di akhir tulisannya, ia pun mengingatkan para pembaca, “Yang penting adalah praktik, bagaimana kau melakoni semua ini. Setelah dipelajari, buku ini pun harus kau buang. … Terjemahkan apa yang telah kau pelajari dalam hidup sehari-hari .“
Barangkali, dialah penulis “kitab suci” yang tidak memiliki beban ego. Ia berasal dari wilayah peradaban Sindhu, Hindu, Indies, India, Indo, Hindia - wilayah kita semua. Sayang sekali, hanya sebagian kecil di antara kita yang masih memiliki rasa bangga terhadap budaya asal kita. Budaya yang melahirkan Vatsyayana, Mpu Tantular, Sukarno, dan Romo Mangun. Budaya yang melahirkan para pemikir dan negarawan seperti Ki Hajar Dewantara, Syahrir, M. Hatta, Moh. Natsir, dan Kasimo. Budaya yang sudah ada sebelum lahirnya agama-agama.

Dari budaya asal itu pula yang masih dipahami di zaman La Galigo, Bundo Kanduang, Ronggowarsito, dan Mangkunagoro - kita memperoleh cara untuk meniti jalan ke dalam diri, untuk menemukan jati diri. Vatsyayana menyebutnya samadhi - keseimbangan yang diperoleh lewat dhyana, hidup berkesadaran.
Orang Jawa zaman dahulu menyebutnya sembah rasa. Para Sufi menyebutnya muraqibah yang diperoleh dengan ber-tafakkur. Dalam bahasa modern, meditasi. Meditasi bukan dalam pengertian “duduk diam” atau “mendiam-diamkan diri selama beberapa lama”, “menyepi”, dan sebagainya. Namun, “menjadi diam” - setelah hewan di dalam diri kita berhasil dijinakkan. Meditasi juga bukan doa. Ketika kita bendoa, kita berbicara dengan Tuhan, Allah, atau apa pun sebutan Anda bagi Kekuatan Tunggal Yang Satu Itu. Dalam meditasi, kita berhenti berbicara. Kita mendengarkan suara-Nya.
Untuk menuju ke sana Vatsyayana berkata, urusi dulu sesuatu yang paling dasar di dalam dirimu, yaitu seks. Pengolahan enengi seks untuk menggapai ketinggian spiritual, itulah intisari Kamasutra. ***